Diksar Punya SOP dan Level Tertentu



Kasus tewasnya Aga Trias Tahta (19), mahasiswa FISIP Unila saat mengikuti pendidikan dasar (diksar) UKM Cakrawala beberapa waktu lalu menimbulkan persepsi negatif terhadap organisasi pencinta alam, termasuk ekstrakulikuler Siswa Pecinta Alam (Sispala) di Lampung.

Ketua Dewan Pengurus Wahana Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup (Watala), Joko Hartono, yang juga, Pembina Sekretariat Bersama (Sekber) Sispala Lampung mengatakan, kasus cedera parah hingga kematian saat diksar harusnya tidak terjadi. Sebab diksar memiliki standar dan level tertentu.
"Kalau untuk diksar Sispala di Watala sudah punya standar operasional prosedur (SOP). Ada level di atas siswa, ada level di bawah siswa. Kalau kita menggunakan standar yang sudah disusun oleh Watala, saya pikir tidak ada hal yang cenderung negatif," ujar Joko, Minggu, 13 Oktober 2019.

Menurutnya, diksar pecinta alam penting dilakukan. Selain untuk regenerasi dan memperkuat kekeluargaan, anggota dilatih agar dapat memasuki dunia pecinta alam dengan baik dan benar.
"Karena dunia pecinta alam itu bukan hanya naik gunung. Ketika bicara alam, tentunya bicara kemanusiaan di sana, nah salah satunya seperti yang dilakukan adik-adik Sispa di
Sekber pecinta alam yang aaktif dalam kegiatan sosial," jelasnya.

Selain itu, Joko mengungkapkan pihaknya saat ini tengah berupaya menyosialisasikan kegiatan diksar ke sekolah yang memiliki Sispala. Hal itu dilakukan agar persepsi negatif pada kegiatan pecinta alam dapat dihilangkan.

"Supaya bisa memberikan wawasan juga kepada pembina dan kepala sekolah, bahwa kegiatan jika dilakukan dengan SOP yang benar, maka akan terlaksana dengan aman," ujar Joko.

Wakil Ketua Pastabel SMK Negeri 4 Bandar Lampung, Khalil Faza, mengungkapkan peristiwa diksar maut tersebut jelas berdampak negatif pada proses perizinan kegiatan pecinta alam di setiap sekolah di Bandar Lampung.

"Kita ada forum pecinta alam se-Lampung. Nah kita diskusikan itu hampir semua Sispala jadi sulit dapat izin untuk kegiatan," jelasnya.

Di Bandar Lampung sendiri, sekolah yang memiliki ekstrakulikuler pecinta alam berkisar 14 sekolah, namun sebagian besarnya sulit mendapat perizinan kegiatan.

"Sebenarnya Sispala di Bandar Lampung aja itu ada sekitar 14-an. Tapi memang rata-rata ya kendala kita sama, di sekolah masing-masing itu soal perizinan kegiatan susah," bebernya.

Alasannya, sekolah tidak mau mengambil resiko yang terlalu besar. Hal itu lantaran kasus tewasnya peserta diksar Cakrawala Fisip Unila.

"Padahal kegiatan kita kan kalau diksar itu lebih banyak ke praktek yang sebenarnya sebelumnya sudah diisi dengan materi ruang di sekolah, kaya survival, rock climbing atau navigasi darat," kata dia.

Dijelaskan Faza, kegiatan diksar diharamkan menggunakan kontak fisik.
"Tidak ada kontak fisik, apalagi sampai ninju gitu. Kalau senior atau panitia ngelakuin kontak fisik ya kita otomatis diskors atau dihukum dengan instruktur," jelasnya.

Hal itu dikarenakan, kegiatan diksar berpusat kepada instruktur. Jika panitia melanggar hal tersebut, maka justru panitia yang mendapatkan hukuman.

"Kami kan pakai SOP dari Watala, nah di situ ada instruktur. Instruktur yang punya hak untuk ngasih hukuman ke peserta," terang Faza.

Sementara, instruktur sendiri merupakan hasil kesepakatan pada rapat sebelumnya. Di mana, posisi yang menjadi ujung tombak kegiatan itu akan diisi dengan pemateri, atau alumni yang dianggap mumpuni.

"Instruktur kegiatan itu dipilih dari hasil rapat, ada yang dari pemateri ahli, ada satu dari alumni. Jadi tidak ada istilah balas dendam junior dan senior," tukasnya.

Sumber Berita: https://www.saibumi.com/artikel-96606-tepis-diksar-bermuatan-negatif-pembina-sispala-diksar-punya-sop-dan-level-tertentu-.html#ixzz6RcjuzsOn
Pastabel Official
Pastabel Official Sejak Tahun 1993.